Blogger templates

Pages

23 October 2012

Sifat dan Karakter Manusia Berdasarkan Cara Ngupilnya

http://kerenzbanget.files.wordpress.com/2012/02/ngupil.jpg
 
Okehh, setelah dulu ane pernah nge-post sifat dan karakter seseorang berdasarkan.. *maaf* KENTUT-nya, sekarang ane mau nge-post sifat dan karakter seseorang berdasarkan *ehemehem* CARA NGUPIL-nya.. monggo, di manakah ente??
 
* Orang yang menganggap waktu adalah uang:
Kalo ngupil, 2 lobang sekaligus (Sekali mendayung, 2 pulau terlampaui).
 
* Orang yang perfeksionis:
Kalo mo ngupil, cuci tangan sampai bersih. Setelah ngupil, tangannya dicuci lagi, dan hidungnya di kompres dengan alkohol untuk mencegah terjadinya infeksi karena saat ngupil, bisa saja jari tangan melukai hidung.
 
* Orang yang berlibido tinggi:
Saat ngupil, jarinya dimasukkan dan dikeluarkan dan dimasukkan dan dikeluarkan dan dimasukkan dan dikeluarkan dan dimasukkan dan dikeluarkan dan dimasukkan dan dikeluarkan dan dimasukkan dan dikeluarkan dan dimasukkan dan dikeluarkan, sampai keluar lendir.
 
* Orang yang tidak berpendidikan:
Menggunakan jari orang lain untuk ngupil.
 
* Orang yang tidak berpendidikan tapi punya sopan santun:
Menggunakan jari orang lain untuk ngupil, dan mengucapkan terima kasih setelah selesai.
 
* Orang yang inovatif:
Menggunakan jari kaki untuk ngupil.
 
* Orang berjiwa samurai:
Saat ngupil, jari dimasukkan ke hidung, ditarik keatas, diturunkan kebawah, tarik ke kiri kemudian tarik ke kanan.
 
* Orang yang suka ganti suasana:
Selalu menggunakan jari yang berbeda tiap kali ngupil.
 
* Orang yang suka petualangan:
Selalu mencoba untuk meraih celah yang tak pernah diraih tiap kali ngupil.
 
* Orang yang mempunyai manajemen waktu yang tinggi:
Ada jadwal untuk ngupil per minggu, dan selang waktu untuk ngupil tiap kali ngupil.
 
* Orang yang bagaikan punuk merindukan bulan:
Mencoba untuk melompat-lompat, dan mengharapkan upilnya akan turun dengan sendirinya.
 
* Orang yang berjiwa pembunuh:
Hanya akan berhenti ngupil setelah hidungnya berdarah.
 
* Orang yang ga tahan digelitik:
Sambil ngupil sambil tertawa.
 
* Orang yang mengikuti perkembangan teknologi:
Ngupil dengan memakai antenna handphone.
 
* Orang yang ga mau menghabiskan waktu tuk melakukan hal sia-sia:
Membuka lebar hidungnya dan menyuruh orang lain untuk ngintip apakah ada upil didalam, karena ga mau sia-sia masukin jari ke hidung tapi ternyata ga ada upil.
 
* Orang yang berjiwa oriental:
Menggunakan sumpit untuk ngupil.
 
* Orang yang taat beragama:
Berdoa dulu sebelum ngupil.
 
* Orang yang pilih kasih:
Hanya ngupil lobang hidung sebelah kiri, sedangkan yang kanan dibiarkan begitu saja.
 
* Orang yang adil, arif dan bijaksana:
Kalo upil dari lobang hidung sebelah kiri lebih banyak dibanding upil dari hidung sebelah kanan, maka dia akan memasukkan sedikit upil dari lobang hidung
sebelah kiri kedalam lobang hidung sebelah kanan, baru mulai ngupil lagi.
 
* Orang yang plin-plan, alias baru makan buah simalakama:
Ngupil salah, ga ngupil salah, ngupil salah, ga ngupil salah, ngupil salah, ga ngupil salah, ngupil salah, ga ngupil salah, ngupil salah, ga ngupil salah.
 
* Orang yang latah:
Saat kuku tangan tanpa sengaja melukai hidung, maka dia akan berteriak “EH MAMA KU UPIL EH UPIL KU MAMA”.
 
* Orang yang pelupa:
Saat jari tangan sudah didalam hidung, sesaat dia lupa apa yang ingin dia lakukan dengan memasukkan jari ke hidung.
 
* Orang yang ceroboh:
Orang yang setelah selesai ngupil lobang hidung sebelah kiri, kemudian lupa untuk ngupil lobang hidung sebelah kanan.
 
* Orang yang suka mencontoh kata-kata di iklan TV:
Setelah ngupil, dia akan berkata “Ngupil? Siapa takut???”
 
* Orang yang pemalas:
Menunggu bersin biar upil keluar sendiri.
 
* Orang yang bermasalah dengan kejiwaan:
sedang membaca note ini sambil ngupil :D
 
 
*.jpg

09 October 2012

Rangkaian Melodi Terakhir | Nada Sang Angin

‘Cinta itu seperti angin. Dia tak akan pernah berhembus dua kali di tempat yang sama.’

Rangkaian Melodi Terakhir
 

Alunan melodi ini tiba-tiba terhenti. Aku sendiri terhenyak karena senar gitarku putus tepat di bait terakhir. Bait dan melodi yang belum mampu aku lanjutkan. Semangatku pun ikut terputus, dan hilang. Senja perlahan mulai berpaling dariku. Meninggalkanku sendiri termenung, menatap nanar ke arah langit yang semakin gelap dan gelap.
Bulan perlahan muncul. Sinarnya begitu terang tapi.. Aku tak lagi menemukan bayang wajahmu yang dulu sangat lekat dalam ingatanku. Kekasih, seseorang yang begitu penting untukku, seseorang yang mengenalkanku pada cinta, kamu, kini telah pergi. Pergi ke sisi lain dunia. Ke ujung lain dari kehidupan. Hanya kepingan ingatan yang tertinggal di sini. Dan sebuah melodi yang tak mampu ku selesaikan karena kau, inspirasiku, telah lebih dulu pergi karena kehendak Sang Maha Cinta.
“Sheila.. Kamu pergi terlalu cepat. Melodi ini gak akan selesai tanpa ada kamu. Karena melodi ini adalah kamu.”
Aku tak mampu menahan air mata yang mulai jatuh dan mengalir. Air mata yang kembali terjatuh setelah mataku kehilangan sosok terindah yang pernah dilihatnya. Hanya sebuah pesan yang masih terngiang. Sebuah pesan agar aku mencari seorang yang akan mampu menggantikannya. Tapi.. Mampukah aku?

***

Semester 6. Seharusnya adalah semester paling krusial dalam siklus akademikku. Karena pada semester ini, aku dituntut untuk menciptakan karya yang nanti akan menjadi bagian konser tahunan akademi music ini. Tapi entah kenapa aku tak lagi menemukan gairah untuk mengarunginya. Langkahku begitu berat dan terseok-seok. Otakku enggan berputar menemukan ide-ide cerdas untuk berkarya. Mungkin teman-teman tak akan terlalu khawatir setelah melihat senyum palsuku yang sepertinya berhasil memperdayai mereka. Mungkin hanya Satria yang tahu keadaanku saat ini.
“Vin, ke kantin yuk. Laper nih.” Satria perlahan mendekatiku selepas kelas selesai.
“Loe duluan aja deh Sat, gue masih pengen di sini.” Aku masih termenung di hadapan buku not yang masih begitu bersih tanpa coretan. Satria menatapku dengan tatapan sedih.
“Yaudah, gue duluan ya.”
“Ya.” Kataku. Satria pun akhirnya pergi.
Aku menatap kosong ke luar jendela kelas. Masih saja cuaca cerah di luar sana tak mampu ku lihat dengan perasaan ceria seperti dulu. Tiba-tiba ku rasakan semilir angin yang entah dari mana datangnya membelai lembut rambutku. Aku menoleh dan hampir saja pingsan karena kaget. Di depanku, sosok yang sangat familiar bagiku sedang berdiri dengan senyum termanisnya. Dengan tatapannya yang sangat teduh. Sheila!
Aku ingin menyapanya tapi.. Mulutku seolah terkunci rapat. Aku tak mampu berkata apa-apa. Badanku pun serasa lemas dan tak bisa kugerakkan. Aku seperti tersihir dan berubah menjadi batu di hadapan sosok Sheila.
“Alvin. Maaf, aku pergi darimu terlalu cepat. Aku juga telah mengingkari janji kita untuk menyelesaikan melodi itu. Tapi aku sama sekali tak pernah menginginkannya. Dan aku sangat berharap, kamu bisa selesaikan melodi itu. Untukku.”
“S..she..sheila..” Aku belum mampu bicara dengan lancar.
“Aku percaya kamu akan mampu menyelesaikannya Vin. Karena kamu akan segera menyelesaikannya. Ketika kamu menemukan potongan akhir melodi itu. Melodi yang sangat dekat dengan kita.” Sosok itu kembali tersenyum kepadaku. Kali ini sebuah senyuman yang menyiratkan kepedihan yang sangat dalam. Dan sosok Sheila perlahan lenyap dari hadapanku. Diiringi belaian lembut angin yang menyisir sela rambutku.
Nafasku masih tak beraturan. Tanganku, tubuhku masih bergetar. Air mataku kembali leleh. Aku begitu menyesal karena hanya bisa terdiam kaku dan tak mampu berbuat apa-apa di hadapan Sheila tadi. Hanya pesannya yang mampu kudengar. Menyelesaikan rangkaian bait melodi itu. Melodi yang begitu dekat denganku dan Sheila.
Kini kualihkan perhatianku ke arah lembaran-lembaran buku not di hadapanku. Aku mulai menerka-nerka bagaimana lanjutan melodi itu. Tapi tetap saja tanganku masih tak mampu mencoretkan satu coretanpun. Otakku serasa mati. Intuisiku sama sekali tak mau berkreasi. Aku berpikir, aku tak akan mampu menyelesaikan keinginan terakhir Sheila.

***

Seperti biasa, aku berangkat ke kampus dengan berjalan kaki. Suasana hari terasa begitu berbeda. Aku tak lagi merasakan angin yang biasa menemani langkahku. Hanya terdengar deru kendaraan bermotor yang lalu lalang. Aku berusaha tak menghiraukannya. Aku tetap melangkah, dengan langkah lemah memasuki kampus dan kemudian berjalan menuju kelas.
Sebelum memulai kuliahnya, dosen mengenalkan seorang mahasiswa pindahan yang akan masuk kelasku. Ku dengar dari teman-teman sekelasku, mahasiswa itu adalah seorang gadis cantik yang sangat berbakat dalam musik. Tapi hal itu sama sekali tak mampu mengusik perhatianku, sampai aku melihat dia berdiri di samping dosen kemudian memperkenalkan diri. Membuat jantung tersentak dan hampir melompat keluar.
“Anak-anak, hari ini akan ada mahasiswa baru yang masuk kelas ini. Silakan kamu perkenalkan diri.” Dosen itu kemudian mempersilakan mahasiswa baru itu memperkenalkan dirinya.
“Selamat pagi teman-teman. Namaku Brigitta Silvya. Biasa dipanggil Gitta. Salam kenal.” Dia tersenyum dengan manis. Senyum yang hampir mencekikku dan membuatku kehilangan nafas. Senyum yang dulu hanya kulihat di wajah Sheila. Dan tampak, dia menatapku kemudian tersenyum.
“Baik Gitta, silakan kamu duduk di samping Alvin. Kita akan segera mulai kuliah hari ini.” Gitta langsung berjalan dan kemudian duduk di sampingku. Aku hanya tertegun memandangnya. Perasaanku campur aduk.
“Hai. Kamu Alvin kan?” pertanyaannya membuatku semakin ingin pingsan. Bagaimana dia tahu namaku? Aku pun mulai berpikir kalau dia adalah penjelmaan dari Sheila. Tapi, sepertinya hal itu tak mungkin terjadi. Aku pun berusaha menenangkan diri dan bersikap biasa di hadapannya.
“Iya. Aku Alvin. Tapi, kamu tahu aku darimana?” tanyaku. Tapi gadis bernama Gitta ini hanya tersenyum kemudian mengalihkan pandangannya ke arah dosen yang mulai memaparkan materi kuliah.

***

Seperti biasanya, aku masih duduk di bangkuku ketika kelas berakhir dan satu persatu mahasiswa lain berjalan keluar. Dan seperti biasa, Satria mendekatiku. Mengajakku keluar. Aku sangat menghargai kepeduliannya kepadaku, tapi aku masih belum bisa menjadi aku yang dulu.
“Alvin.” Panggil Gitta. Aku kaget mendapati dia masih duduk di sampingku dan belum beranjak.
“Eh, eng. Gitta. Belum keluar?” tanyaku dengan suara agak terputus.
“Ajarin aku nulis lagu dong. Kata anak-anak, kamu paling jago nyiptain lagu.”
“Hah? Gue? Eng.”
“Iya. Aku pengen belajar. Aku bakal belajar.”
“Maaf Gitta. Aku gak bisa.”
“Tapi Vin.”
Aku bergegas pergi meninggalkannya. Ada pergulatan yang terjadi dalam hatiku. Permintaan Gitta dan hatiku sendiri yang belum mampu menemukan kembali semangat dan sentuhan mencipta. Sebelum keluar, aku melirik Gitta yang kulihat masih duduk dan melihat kosong ke arah jendela. Jantungku hampir berhenti ketika melihat sosok di belakang Gitta. Sosok Sheila yang tersenyum ke arahku.
Aku jatuh terduduk. Sepertinya Gitta mendengarnya dan dia pun berlari ke arahku yang masih belum bisa mengendalikan diri.
“Alvin. Kamu gakpapa?” dia berusaha menolongku.
Dengan susah payah, aku segera berdiri dan berlari meninggalkannya. Berlari dengan pikiran dan perasaan yang terus menggerogoti seluruh hatiku. Melahap habis seluruh logikaku. Menguras semua emosi yang tersisa dalam diriku. Berlari dengan membawa beribu tanya tentang apa yang harus aku lakukan untuk memenuhi permintaan terakhir Sheila.

***

“Gitta.”
“Ya Vin. Ada apa?”
“Kapan mau mulai kuajarin?”
“Ha? Serius mau ngajarin?”
“Iya.”
“Nanti sore aja gimana?”
“Oke. Nanti sore, di ruang musik ya.”
“Sip. Makasih ya Alvin.”
Ya, akhirnya kuputuskan untuk mau memenuhi permintaan Gitta untuk mengajarinya. Meskipun dengan berat hati. Aku berpikir, mungkin dengan mengajari Gitta aku bisa menemukan lagi semangat dan kreasiku yang kini hilang.
Sesuai janji kami sebelumnya, kami bertemu di ruang musik untuk mulai belajar. Sebelumnya, aku menerangkannya tentang nada. Aku mulai menyukai semangatnya dalam mendengarkan sepotong demi sepotong penjelasan yang kuberikan. Kemampuannya memahami pun tergolong cepat.
“Alvin. Kamu hebat lho. Berbakat jadi musisi.”
“Ah, kamu bisa aja Ta. Aku dulu kan juga belajar kayak kamu.”
“Belajar sama siapa Vin? Pasti orangnya jago ya?”
Pertanyaan terakhir Gitta membuat dadaku sesak. Aku tak mampu menjawab pertanyaannya. Satu nama yang sangat sulit aku sebut. Membuat seisi tubuhku lemah dan aku pun roboh. Gitta segera menolongku untuk duduk. Pandangan mataku kosong menatap liar tak menentu. Kesedihan kembali menggelayuti tubuhku. Aku pun kembali teringat bagaimana dulu Sheila mengenalkanku pada dunia musik yang mampu mencuri jiwaku. Dan bagaimana Sheila mampu mencuri hatiku. Tapi itu semua hanya jadi melodi usang yang tak akan mampu ku ingat lagi rangkaian nadanya.
Gitta mulai memberanikan diri bertanya padaku. Dan dengan perlahan pula, aku menceritakan kepada Gitta tentang aku dan tentu saja, kisah tentang melodi terindahku, Sheila. Dari awal sejak kami masih menjadi sahabat kecil, ketika kami saling membuka perasaan, hingga akhirnya takdir berkata lain. Maut lebih dulu menjemput Sheila sebelum kami mampu menyelesaikan rangkaian melodi pertama kami. Hanya sebuah pesan yang sama sekali tak ku mengerti artinya, yang selama ini membayangi hidupku.
“Vin, boleh aku lihat pesan itu?”
“Ini. Pesan terakhir Sheila. Dia nulis, kalo aku mampu memahaminya, melodi ini akan selesai.”
Aku melihat Gitta dengan serius membaca kata demi kata dari pesan itu. Beberapa kali dia mengernyitkan dahinya. Kemudian menggenggam erat kertas pesan itu.
“Vin, aku akan bantu kamu cari potongan terakhir melodi kamu.”
“Maksud kamu apa Ta?”
Ada raut penuh kepastian di wajahnya. Kembali, wajahnya mengingatkanku pada Sheila yang begitu menggebu-gebu ketika menulis lagu. Gitta beranjak pergi meninggalkanku sendiri. Aku hanya mampu melihat kelebatannya ketika berlari meninggalkan ruangan ini.
“Sheila.” Kataku lirih ketika kulihat Sheila yang berdiri di depan pintu sambil tersenyum memandangku. Dia hanya mengangguk pelan, kemudian lenyap.

***

Kuliah hari ini berakhir lebih cepat. Masih siang dan mentari tampak begitu bersemangat membakar udara kota. Tak seperti biasanya, Gitta menarik tanganku mengajakku segera keluar. Aku pun enggan mengikutinya.
“Alvin. Ayo ikut aku.”
“Ngapain sih Gitta?”
“Maksud pesan itu.”
Aku tercekat mendengarnya. Apa mungkin Gitta telah mengetahui arti pesan dari Sheila? Tapi apa? Akhirnya aku pun memutuskan untuk mengikuti Gitta.
Perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan. Tapi sama sekali tak ada rasa lelah yang tampak di wajah Gitta. Hingga akhirnya Gitta menghentikan langkahnya di sebuah padang rumput yang cukup luas. Begitu sejuk meskipun sinar mentari sangat terik. Sunyi, namun sangat menenangkan hati.
“Gitta.”
“Alvin, sekarang coba tutup mata kamu dan dengerin alunan angin ini.”
Aku segera menuruti kata-kata Gitta. Aku berjalan pelan sambil menutup kedua mataku. Angin samar-samar mulai menelisik sela rambutku. Langkahku terhenti ketika kurasakan angin seolah membisikkan sesuatu ke telingaku. Aku mulai mempertajam telingaku. Merasakan apa yang ada di sekitarku saat ini.
Bisikan angin itu lambat laun berubah menjadi sebuah suara yang sangat jelas kudengar. Sebuah alunan musik yang begitu indah. Aku mulai menikmatinya. Aku serasa menemukan kembali jiwa dan semangatku yang lama hilang. Dan nada-nada angin itu pula yang akhirnya membuatku tersadar dari lamunan dan mulai menyadari kata-kata Sheila. Mengingat kembali masa lalu. Mendengarkan kembali nada usang yang kini menari-nari di telingaku.

**flashback**

“Alvin, kamu denger gak?”
“Apaan sih Sheila?”
“Musik yang dimainin sama angin.” Kata Sheila kecil sambil tersenyum.
“Ha? Angin?” Alvin kecil pun kebingungan.
Sheila kecil mulai mendendangkan nada demi nada yang didengarnya agar Alvin juga bisa mendengarnya. Alvin kecil pun terpesona dengan nada itu. Dan ikut berdendang bersama Sheila kecil.

***

Ingatan itu kemudian muncul dengan jelas. Aku tak mampu lagi menahan perasaanku. Aku terjatuh kemudian menangis. Gitta bergegas mendekatiku. Aku tak menghiraukan panggilannya kepadaku.
“Sheila! Kenapa kamu kasih aku teka teki yang terlalu sulit! Aku terlalu bodoh untuk bisa menemukan jawabannya!”
Aku menangis keras. Gitta yang melihatku hanya membiarkanku. Entah apa yang terjadi, tapi aku seolah berubah menjadi anak kecil yang kehilangan ibunya. Perasaan bahagia bercampur dengan rasa sedih yang dalam. Bercampur aduk menjadi satu.
Potongan melodi itu telah kutemukan. Dan melodi kami pun akhirnya lengkap oleh melodi angin yang pernah Sheila nyanyikan dulu. Sebuah melodi usang yang indah. Melodi yang muncul dari hembusan merdu angin.
Aku memainkan lagu itu bersama Gitta. Dan sepertinya Gitta dengan baik menyanyikannya. Aku senang meskipun ada rasa kehilangan karena bukan Sheila yang menyanyikannya. Saat kulihat Gitta yang sedang bernyanyi, tiba-tiba sosoknya berubah menjadi sosok Sheila. Aku menghentikan permainanku kemudian berlari ke arah Gitta yang kulihat sebagai Sheila dan memeluknya.
“Alvin. Kamu kenapa?” Gitta nampak gugup ketika kupeluk. Dan saat mendengar suara Gitta, aku tersadar kalau tadi hanya halusinasiku.
“Alvin, terima kasih kamu sudah berhasil menyelesaikannya. Aku akan pergi. Cintailah Gitta yang kini ada untukmu. Dialah sebenarnya potongan melodi terakhir itu. Biarkan melodi angin ini menjadi tanda perpisahan kita.” Suara itu mendadak terdengar di telingaku. Suara Sheila. Tepatnya salam perpisahan darinya.
Sebuah melodi yang tercipta dari angin. Sebuah melodi yang terdengar di masa lalu. Sebuah melodi yang akan menjadi kenangan bagiku. Sebuah melodi terindah dari sosok terindah yang pernah ada di sampingku. Sheila…

~

Udah ya, udah selesai tuh. Pengen nambah? Bentar ya, ane nulis yang baru lagi. Kapan? Kapan-kapan aja deh.
Gimana? Kasih komentar dong. Kalo jelek, bilang aja jelek. Gakpapa kok. Ane bakal trima. Eh, tapi harus komen lho yaa. Awas kalo enggak! *ngasahgolok*

04 October 2012

Cerita Tentang Kita II | Sebuah Ikatan, Chapter - 7

Ini akhir dari CTK II. Kepergian Kenzo, dan ikatan yang disebut keluarga dan cinta.. Sedih sebenernya kalo harus nyampe sini aja..


 

Cerita Tentang Kita II | Sebuah Ikatan, Chapter - 7

“Papa?” tanya Alea. Kenzo mengangguk. Dengan perlahan, dibukanya kotak itu. Isinya sebuah foto yang nampaknya telah disimpan cukup lama karena warnanya nampak sedikit memudar. Di foto itu terlihat sosok Alea kecil yang masih TK, sedang digendong oleh Papa. Tiba-tiba Alea memeluk Kenzo yang berdiri di depannya. Kenzo dapat mendengar suara lirih Alea yang sedang menangis.
“Ada apa Al?” tanya Kenzo lembut sambil melepas pelukan Alea.
“Alea kangen sama Papa kak.” Jawab Alea lirih di sela-sela isak tangisnya.
“Papa lagi sakit Al. Makanya Papa gak bisa dateng buat Alea.” Kata Kenzo. Alea berusaha mengusap air matanya.
“Sakit apa kak?” tanya Alea.
“Demam biasa aja kok sayang. Mama yang cerita. Eng..” Kenzo ragu melanjutkan kata-katanya.
“Ada apa kak?” tanya Alea.
“Kakak harus ke Jepang buat bantuin Papa di sana Al.” kata Kenzo dengan nada berat. Alea tak berkata apa-apa. Dia menunduk berusaha menyembunyikan air matanya.
“Kenapa kak? Kenapa kakak ninggalin Alea? Kalo Kakak sama Mama ke Jepang, Alea di sini sama siapa?” tanya Alea.
“Alea sayang. Yang ke sana cuma kakak. Mama bakal di sini nemenin Alea.” Jawab Kenzo. Mendengar jawaban Kenzo, Alea pun dapat menerima meskipun sedikit berat.
“Kak Kenzo mau pergi?” tanya Emily yang tiba-tiba muncul dari belakang Kenzo.
“Eh. Eng. I..iya Emily. Papaku butuh aku di sana.” Jawab Kenzo sedikit gugup.
Suasana hening. Alea menarik tangan Kenzo dan Emily, kemudian menyatukannya. Kenzo dan Emily pun kaget dengan apa yang dilakukan Alea.
“Kakak, sebelum kak Kenzo pergi, kakak harus jujur sama perasaan kakak. Perasaan kakak ke Emily. Begitu pula sebaliknya.” Kata Alea. Hal ini membuat Kenzo dan juga Emily terhenyak. Tiba-tiba muncul Evan diikuti Tara, dan Rara. Dan orang yang paling shock melihat pemandangan ini adalah, Rara. Akhirnya, Kenzo pun menarik nafas panjang. Kemudian mulai berbicara.
“Mily, apa yang bikin aku gak berani ngungkapin perasaanku adalah sebuah kejadian di masa lalu yang membuatku kehilangan keinginan untuk mencintai. Rasa sakit karena sesuatu yang orang sebut ‘rasa cinta’.” Kata Kenzo mengawali. Hal ini membuat Evan dan Tara kaget. Mereka berdua pun saling pandang. Masa lalu?
“Kenzo..” kata Evan. Kenzo menoleh ke arah Evan kemudian tersenyum.
“Ingatanku udah pulih Van. Aku udah inget semuanya dengan jelas.” Kata Kenzo.
“Tapi.. Sejak kapan?” tanya Evan.
“Setelah keluar dari rumah sakit. Ingatanku berangsur pulih seperti sedia kala. Lukisan itu, hujan deras. Dan semua tentang Rara. Aku inget semuanya. Gakpapa. Anggap semua itu sebagai masa lalu dan pelajaran buat kita.” Jawab Kenzo panjang lebar. Evan dan Tara pun tersenyum mengetahui kebesaran hati Kenzo. Rara yang tak mampu menahan perasaannya pun menangis dan kemudian memilih pergi.
“Mily, aku gak ingin kamu terbutakan oleh perasaan ini. Jujur, aku menemukan lagi rasa cinta dalam diriku setelah ketemu kamu. Tapi aku gak ingin kasih kamu janji-janji yang tinggi sedangkan aku belum mampu wujudkan.” Kata Kenzo ke Emily.
“Kak, aku akan nunggu kakak kembali ke sini lagi. Aku akan jaga perasaanku ke kakak.” Kata Emily. Kenzo dan Emiy pun saling berpandangan dan tersenyum satu sama lain. Ciuman hangat mendarat di kening Emily. Semua yang ada di situ pun tertegun melihatnya, Emily pun sampai tak berani bergerak.
“Ehem. Kenzo udah nih Van. Sekarang giliran loe.” Kata Tara sambil menyenggol Evan yang dari tadi bengong.
“Apa-apaan sih loe kunyuk.” Kata Evan. Kenzo, Tara, dan Emily pun tersenyum melihat ekspresi Evan.
“Van, tolong jagain Alea.” Kata Kenzo. Evan menoleh ke arah Kenzo. Kenzo pun tersenyum dan mengangguk. Tapi Evan masih tampak malu-malu untuk mendekati Alea yang berdiri di samping Emily.
“Nunggu apaan lagi sih loe Van? Udah peluk aja gak usah malu-malu. Entar gue embat duluan lho. Haha.” Kata Tara kemudian berlari menjauh.
“Kunyuuuk!! Ke sini loe!!” teriak Evan berlari mengejar Tara. Hal itu pun membuat Kenzo, Emily, dan Alea tertawa terbahak.
***
Mentari hari ini tampak cerah bersinar. Awan tipis menggantung di langit dengan anggun. Entah kenapa, jalanan tampak begitu lengang sehingga mobil Mama dapat berjalan dengan lancar hingga bandara. Hari ini adalah hari di mana Kenzo akan berangkat ke Jepang. Mama, Alea, Emily, dan Evan mengantar Kenzo hingga ke bandara. Suasana tampak sunyi. Hanya alunan music mp3 dari player yang memenuhi seisi mobil. Tak ada satupun suara yang keluar dari mulut mereka. Hingga tiba di bandara.
“Ma, Kenzo berangkat dulu.” Kata Kenzo berpamitan kepada Mama, kemudian mencium tangan beliau dan memeluknya.
“Emily.” Panggil Kenzo ke Emily yang hanya tertunduk. Dengan gugup, Emily menengadahkan kepalanya.
“Iya kak Kenzo.” Jawab Emily. Kenzo langsung memeluknya. Emily pun memeluk tubuh Kenzo dan tersenyum. Ada bulir air mata yang tertahan di ujung matanya.
“Van. Tolong janji ke gue, loe bakal jagain Alea sampai gue balik ke sini lagi.” Kata Kenzo ke Evan sambil memegang kedua pundak Evan. Evan pun mengangguk dengan mantap.
“Kenzo, loe bisa pegang janji gue.” Kata Evan kemudian menjabat tangan Kenzo. Kenzo pun tersenyum. Dia kemudian berhadapan dengan Alea.
“Alea.” Kata Kenzo sambil membungkukkan badannya. Dia ingin melihat wajah adik yang sangat dia sayangi itu sebelum berangkat. Tapi Alea memalingkan wajahnya. Dengan segera, Kenzo membalik badan Alea. Tampak air mata Alea yang mengalir begitu deras. Tanpa terasa, air mata Kenzo pun ikut mengalir.
“Kakak!” Teriak Alea sambil memeluk Kenzo hingga Kenzo hampir saja terjatuh.
“Kakak gak akan lama Al.” kata Kenzo berusaha membesarkan hati Alea. Pelukan Alea makin erat.
“Janji?” tanya Alea.
“Janji.” Jawab Kenzo. Alea pun melepaskan pelukannya. Tiba-tiba Kenzo menyerahkan sesuatu kepada Alea. Sebuah surat. Saat Alea akan membukanya, Kenzo melarang.
“Kenapa kak?” tanya Alea heran.
“Buka kalo Alea kangen sama kakak ya.” Jawab Kenzo. Alea pun mengangguk pelan. Dengan langkah berat, Kenzo mulai berjalan pergi.
Lambaian tangan terakhir Kenzo, menandai kepergiannya. Mama dan Evan tersenyum. Alea dan Emily berpelukan, berusaha saling menguatkan hati melihat orang yang begitu berharga bagi mereka akan pergi untuk waktu yang lama. Alea menggenggam erat surat pemberian Kenzo dan berjanji akan menyimpannya.
Kini Alea harus bisa berjalan tanpa Kenzo. Meskipun ada Evan dan Emily yang selalu ada untuknya, namun sosok Kenzo yang begitu hangat dan sangat berarti di hidupnya tak akan pernah dia lupakan. Seorang kakak yang selalu menjadi sinar fajar yang begitu hangat di kala dia terjebak dingin malam. Seorang kakak yang seperti sapu tangan, selalu menyeka keringatnya ketika lelah dan menghapus air matanya ketika sedih. Seorang kakak yang selalu dia rindukan, selalu dia nantikan kepulangannya, untuk dapat berkumpul lagi, menuntunnya, mengajarinya apa arti hidup ini.

~ selesai ? ~

Selesaikah? Tapi kayaknya gak asik deh kalo perjuangannya Kenzo gak dicritain.. Tapi.. Pembacanya sendiri gimana nih.. Udah bosen belum yak?? Kasih komentarnya dong... ^^.

03 October 2012

Cerita Tentang Kita II | Sebuah Ikatan, Chapter - 6

Chapter sebelumnya, ada konflik antara Evan dan Rara tentang masa lalu Kenzo dan Rara. Lho.. Kenzo sama Rara? Tapi masa lalu yang mana? Pengen tahu? Cekibrott!! ^^.


Cerita Tentang Kita II | Sebuah Ikatan, Chapter - 6

**flashback**
Kenzo sedang sibuk membuat lukisan dari foto Rara yang dia pegang. Di sampingnya, ada Evan yang sabar menemani Kenzo menyelesaikan lukisannya.
“Sob. Loe yakin mau kasihin lukisan ini ke Rara?” tanya Evan ragu-ragu.
“Yakinlah sob. Soalnya cuma ini yang gue punya. Gue di sini kan hidup sendiri, duit dari ortu harus gue atur bener-bener buat kebutuhan gue. Dan gue yakin, Rara pasti suka sama lukisan ini.” Jawab Kenzo yang masih sibuk menggoreskan kuasnya ke kanvas. Evan hanya tersenyum melihat sahabat terbaiknya itu dengan tulus menyelesaikan lukisan itu. Namun Evan merasa kasihan karena Kenzo tampak begitu pucat karena telat makan.
“Kenzo, Evan. Berangkat jam berapa nih?” tanya Tara yang tiba-tiba nyelonong masuk.
“Elo Tar. Permisi dulu kenapa? Jangan asal nyelonong gitu.” Kata Evan memarahi Tara.
“Sori Van. Soalnya udah jam 7 nih. Kan pesta ulang tahunnya si Rara udah mulai.” Kata Tara menjelaskan.
“Yuk berangkat. Lukisannya udah selesai.” Kata Kenzo mantap. Dia sudah menenteng lukisan yang tertutup kain putih. Dengan mobil Tara, mereka bergegas meluncur ke tempat pesta Rara.
Sesampainya di sana, suasana tampak ramai. Begitu banyak teman Rara yang diundang. Dengan segera, Kenzo ditemani Evan dan Tara pun bergegas masuk. Dengan hati-hati, Kenzo membawa lukisannya. Dia menoleh ke sana ke mari mencari di mana Rara berada. Karena tak kunjung ketemu, Kenzo pun bertanya ke salah seorang tamu.
“Rara di mana ya?” tanya Kenzo ke salah seorang tamu.
“Oh, Rara kayaknya lagi di kolam renang belakang tadi.” Jawab Tamu itu. Kenzo pun bergegas mengajak Evan dan Tara ke sana.
“Evan, Tara. Yuk.” Ajak Kenzo bersemangat. Evan tampak kasihan melihat semangat yang dibalut tubuh lemah dan wajah pucat Kenzo. Mereka bertiga berjalan menuju ke kolam renang yang berada di halaman belakang rumah Rara. Tapi langkah kaki Kenzo mendadak terhenti, tubuhnya bergetar hebat. Evan dan Tara pun ikut menghentikan langkah mereka.
“Kok berhenti Zo?” tanya Tara ke Kenzo.
“Iya sob. Kok mendadak berhenti kenapa?” Evan juga bertanya ke arah Kenzo. Tapi Kenzo tidak menjawab.
Mulut Kenzo terkunci melihat pemandangan yang ada di depan matanya saat ini. Tara dan Evan yang mengetahui hal itu pun ikut memandang ke arah pandangan Kenzo. Mereka pun juga terkejut. Tara ikut-ikut berdiri mematung. Mereka melihat Rara sedang berciuman dengan sangat mesra dengan seorang lelaki. Tak lama, Rara pun menyadari kehadiran Kenzo-Evan-Tara. Dia pun nampak gugup.
“Eh, Kenzo.” Kata Rara sambil merapikan rambut dan bajunya. Kenzo tersenyum kecut. Lukisan yang daritadi dia pegang dia letakkan begitu saja. Kemudian dengan langkah gontai, dia pergi meninggalkan tempat itu.
“Kenzo. Tunggu!” teriak Tara berlari mengikuti Kenzo.
“Keterlaluan loe Ra! Mainin perasaan tulus Kenzo! Dasar cewek murahan! Loe gak pantes nerima apapun dari Kenzo!” kata Evan penuh amarah. Evan kemudian berlari mengejar Kenzo dan Tara.
Rara kebingungan karena dia tertangkap basah oleh kedua mata Kenzo. Dilihatnya lukisan Kenzo yang tergeletak dan masih tertutup kain putih. Setelah disingkapkan, nampaklah lukisan wajahnya yang begitu cantik. Goresan kuas Kenzo yang begitu tulus, yang kini hanya tergeletak begitu saja. Tak lagi punya arti. Rara pun bergegas mengejar Kenzo.
Sesampainya di luar rumah Rara, Tara berhenti sejenak mengatur nafasnya. Tapi dilihatnya Kenzo yang nampak terus berjalan tanpa arah, melangkah menuju jalan raya yang ramai. Apalagi mendadak hujan turun dengan deras.
“Kenzo!!” teriak Tara melihat tubuh Kenzo terhempas setelah dihantam mobil yang melaju. Evan yang baru bisa menyusul Tara, kemudian berlari diikuti Tara ke tempat Kenzo terjatuh.
“Kenzo! Loe gakpapa kan?!” teriak Evan kebingungan. Dari belakang, muncul Rara yang kemudian jatuh terduduk melihat kondisi Kenzo.
***
Kenzo duduk di beranda rumahnya sambil memegangi kuas lukis. Benda yang tak pernah lagi dia gunakan semenjak dia memutuskan untuk konsentrasi ke kuliahnya, dan fokus ke cita-citanya mengikuti jejak Papa sebagai seorang System Analyst. Tiba-tiba pikirannya kembali melayang memikirkan Rara yang dulu dia kagumi. Seseorang yang dulu membuatnya kehilangan semua logika dan meruntuhkan rasionalitasnya. Kemudian bayangan Rara itu tiba-tiba kabur dan mendadak berubah menjadi bayangan sosok Emily yang sederhana dan begitu bertolak belakang dengan Rara.
“Emily. Anaknya lucu, baik, sederhana. Tapi cantik, senyumnya juga manis.” Kata Kenzo.
“Hayo. Emily siapa?” tanya Mama yang tiba-tiba muncul kemudian duduk di samping Kenzo.
“Eh, Mama. Apaan sih.” Kata Kenzo gelagapan berusaha menyembunyikan rasa malunya. Mama hanya tersenyum.
“Kenzo, yang tadi kamu suruh nganterin Alea itu siapa? Pacarnya Alea?” tanya Mama.
“Bukan. Namanya Evan Ma, temen Kenzo di kampus Ma. Orangnya baik dan Kenzo percaya dia bisa ngejagain Alea.” Jawab Kenzo.
“Tapi kayaknya cocok deh sama Alea.” Kata Mama. Kenzo mengangguk tanda setuju.
“Haha. Mama bisa aja deh.” Kata Kenzo.
“Malam ini, malam terakhir makrab. Berarti besok pagi Alea udah pulang ya?” Tanya Mama ke Kenzo.
“Iya Ma. Mama sih, gak jadi dateng ke tempat makrab buat kasih kejutan buat Alea.” Kata Kenzo.
“Kenzo, bisa baikan lagi sama Alea waktu itu udah cukup. Mama udah seneng.” Kata Mama sambil tersenyum. Kenzo memandang senyum Mamanya yang menggambarkan kebahagiaan.
“Iya Ma. Kenzo juga seneng, karena Alea bisa berangkat dengan perasaan bahagia setelah dapet hadiah terindah, yaitu Mama pulang.” Kata Kenzo sambil tersenyum.
“Kenzo, ada yang mau Mama omongin sama kamu.” Kata Mama dengan nada serius.
“Ada apa Ma?” tanya Kenzo penasaran.
“Gini, ini tentang Papa. Alasan kenapa Papa gak ikut pulang. Dan alasan sebenarnya kenapa Mama pulang ke sini.” Jawab Mama.
***
Apel sore baru saja selesai dilaksanakan. Malam harinya, karena merupakan malam makrab terakhir, akan diadakan acara pensi sebagai acara penutup dan masing-masing kelompok diharuskan menampilkan satu atraksi hiburan. Kelompok Alea masih kebingungan menentukan hiburan apa yang akan mereka tampilkan.
“Eng, temen-temen. Ada yang punya usul gak mau nampilin apa?” tanya Tika di rapat kelompok.
“Aduh, gue gak tau deh. Kalo soal gituan gue nyerah.” Jawab Wisnu. Gian, Mars, serta Venus juga buntu dan tak memiliki ide.
“Kalo nyanyi aja gimana?” Nissa pun memberikan usul.
“Terus, yang nyanyi siapa?” tanya Emily. Nissa hanya nyengir karena dia juga bingung harus menentukan siapa yang akan tampil.
“Gue aja deh.” Celetuk Liana tiba-tiba. Semuanya pun kaget.
“Beneran Li?” tanya Alea. Dengan mantap, Liana pun mengangguk. Tak berapa lama, Gea datang dengan membawakan sebuah gitar.
“Itu, gitar siapa?” tanya Mars.
“Gitar gue lah. Emang punya siapa.” Jawab Liana cuek. Liana pun kemudian duduk dan mulai memainkan gitarnya. Disusul dengan bait demi bait lirik lagu dia nyanyikan hingga selesai. Semua yang daritadi mendengarkan Liana menyanyi pun hanya bisa melongo karena dibuat kagum oleh permainan dari Liana.
“Keren.” Kata Emily. Liana pun hanya tersenyum malu. Gea, diikuti Alea dan yang lainnya pun bertepuk tangan untuk Liana.
***
Acara pensi dimulai. Dimulai dengan penampilan Wayan yang mengundang decak kagum, disusul dengan satu persatu penampilan dari masing-masing kelompok mahasiswa baru. Dan akhirnya tiba giliran kelompok Alea. Dengan perlahan, Liana maju ke atas panggung dengan menenteng gitarnya.
“Eh Tar. Bukannya itu temennya Alea yang galak itu kan?” tanya Wayan kepada Tara.
“Iya. Liana namanya.” Jawab Tara.
“Oh. Liana.” Kata Wayan.
“Evan di mana sih Yan?” tanya Tara.
“Gak tau gue. Di depan kali lagi cari angin.” Jawab Wayan sekenanya. Tara pun pergi keluar mencari Evan. Sedangkan Wayan tetap duduk di tempatnya dan melanjutkan acara pensi.
“Kenalin, nama gue Merliana Melodi, biasa dipanggil Liana. Gue mahasiswa sastra dan di sini gue mau nyanyiin sebuah lagu, Cerita Tentang Kita.” Kata Liana memperkenalkan diri. Kemudian jemari Liana mulai memainkan senar gitar dengan terampil. Menciptakan alunan melodi yang begitu indah.
Liana pun mulai bernyanyi. Denting dawai gitarnya yang mengalun bersahut-sahutan mengiringi suara Liana yang begitu merdu. Seluruh ruangan pun dibuat takjub. Tiba-tiba ada suara gitar lain yang ikut terdengar. Permainan yang berbeda, namun alunan nadanya begitu padu dengan permainan Liana. Permainan gitar dari… Wayan dan dia pun ikut bernyanyi di samping Liana. Seluruh penonton pun bersorak. Liana tersenyum kepada Wayan, begitu pula sebaliknya. Mereka berduet dan berhasil menghipnotis penonton untuk ikut bernyanyi.
***
Tara masih sibuk mencari Evan. Di tengah jalan, dia bertemu Rara dan mereka berdua pun berjalan bersama mencari Evan.
“Tar. Itu Kenzo kan?” tanya Rara ke Tara sambil menunjuk. Tara pun melihat ke arah yang ditunjuk Rara.
“Iya bener. Ada Evan juga. Eh, itu sama siapa?” kata Tara.Tara diikuti Rara pun mendekat ke tempat Evan yang sedang berbincang dengan Kenzo dan Mamanya.
“Jadi gitu Van. Gue pengen loe mau ngejagain Alea buat gue.” Kata Kenzo.
“Iya nak Evan. Tante percaya, kamu bisa ngejagain Alea selama Kenzo pergi.” Kata Mama Kenzo. Evan pun mengangguk tanda setuju.
“Terus, Kenzo mau pergi berapa lama tante?” tanya Evan.
“Mungkin setengah tahun.” Jawab Mama Kenzo.
“Berarti loe gak bisa lulus tahun depan dong Zo?” tanya Evan.
“Ya, mau gimana lagi Van. Gue harus ambil cuti kuliah. Kasian Papa gue.” Jawab Kenzo.
“Yaudah. Mama ke mobil dulu ya. Kamu terusin dulu ngobrolnya.” Kata Mama Kenzo kemudian meninggalkan Kenzo dan Evan.
“Evan, Kenzo.” Panggil Tara dengan nafas ngos-ngosan karena berlari. Di belakang Tara, ada Rara yang tak berani menyapa Kenzo karena mendapat tatapan tajam dari Evan.
“Loe Tar. Alea di mana?” tanya Kenzo.
“Masih di dalem, ikut acara pensi.” Jawab Tara. Kenzo melempar senyum ke arah Rara.
“Hai Ra.” Sapa Kenzo.
“H..hai.. Kenzo.” Jawab Rara terbata-bata.
“Guys, ke tempat pensi yuk.” Ajak Kenzo. Mereka pun ke gedung hall untuk menonton acara pensi.
Sesampainya di sana, Liana dan Wayan baru saja selesai menyanyikan lagu kedua. Diikuti sorak dan tepuk tangan mahasiswa baru peserta makrab yang lain. Di antara para peserta makrab itu, pandangan Kenzo langsung tertuju ke arah Alea dan Emily yang tampak begitu senang.
“Suara loe keren. Permainan gitar loe juga bagus.” Puji Wayan ke Liana.
“Biasa aja kali kak. Kak Wayan lebih jago deh kayaknya.” Kata Liana membalas pujian Wayan.
“Eitss.. Ada yang abis duet nih.” Kata Tara tiba-tiba yang membuat Wayan dan Liana salah tingkah. Satu jitakan dari Liana pun melayang ke kepala Tara.
Kenzo, Evan, Wayan, Liana, dan Rara pun tertawa melihat Tara memegangi kepalanya yang kesakitan. Kenzo pun menyingkir dari situ dan berjalan ke arah Alea. Mengajak Alea keluar.
“Emily, pinjem Aleanya bentar ya.” Kata Kenzo ke Emily sambil tersenyum. Emily yang gugup tak mampu berkata apa-apa dan hanya mengangguk pelan. Kenzo pun mengajak Alea keluar dan kemudian mereka berdua ngobrol.
“Kakak.” Panggil Alea.
“Iya Al. ada apa?” tanya Kenzo.
“Kok kakak ke sini? Kan harusnya istirahat. Malem-malem naik motor.” Kata Alea sambil manyun.
“Alea. Kakak ke sini pake mobil, bareng Mama.” Kata Kenzo menjelaskan.
“Terus, Mama?” tanya Alea.
“Mama di mobil.” Kata Kenzo. Kenzo kemudian menyodorkan sebuah kotak hadiah ke Alea.
“Dari papa.” Kata Kenzo pelan.

to be Continue... 

Mungkin 2 atau 3 Chapter lagi bakal selesai nih.. :'(

02 October 2012

Cerita Tentang Kita II | Sebuah Ikatan, Chapter - 5

Maaf gan chapter ini rada lama, soalnya lumayan buntu ide.. Hehe
Yuk mari dibacaa..... ^^.
 https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg44nJEyuTRa55gdaqtrtzOjNiXTzzS5izj69-8yL2hml9FTj3sNMqoNfB1EBSVFO8us1-2shhC3vGSjmN6BoTYGOFgXCB7uWZIIWPgW51eGIzdjgm4wRFmUbbtIlHKJzUVuOSdJeZfNimt/s1600/ebay_free20gifts_hadiah20percuma_014.jpg
Cerita Tentang Kita II | Sebuah Ikatan, Chapter - 5

Hari Jum’at tanggal 27 September. Hari seharusnya menjadi hari paling bahagia bagi Alea. Hari yang seharusnya penuh dengan keceriaan dan senyuman. Tapi pagi ini rumah itu nampak suram. Mama, Kenzo, dan Alea duduk untuk menyantap sarapan yang ada. Suasana begitu sunyi. Wajah murung Alea, raut penyesalan di wajah Mama, dan rona kesedihan yang tergambar di wajah Kenzo. Tak ada satu pun kata yang meluncur dari mulut mereka. Sesekali Kenzo mencoba bercanda, tapi tetap saja bercandaan Kenzo dilahap oleh kesunyian.
“Al, berangkat jam berapa?” tanya Kenzo ke Alea sekedar basa-basi. Alea tampak enggan untuk menjawabnya.
“Alea berangkat dulu.” Kata Alea kemudian bangkit dari duduknya dan meninggalkan Mama dan Kenzo. Air mata Mama pun tak terbendung. Kenzo yang tak tahan melihat Mamanya menangis pun segera berlari mengejar Alea. Untung saja Alea belum begitu jauh dari gerbang rumah.
“Al!! Alea!! Berhenti!!” teriak Kenzo sambil berlari. Alea yang mengetahuinya pun segera menghentikan langkahnya.
“Kamu kenapa sih Al?” tanya Kenzo sambil berusaha mengatur nafasnya. Alea menundukkan kepalanya. Begitu lama.
“Alea.” Panggil Kenzo sambil memegang kedua pundak Alea. Perlahan, Alea mengangkat kepalanya. Ternyata dia sedang menangis. Tanpa berkata apa-apa, Alea langsung memeluk Kenzo. Sebenarnya, Kenzo mengetahui semuanya tentang pertengkaran antara Alea dan Mama. Tapi dia berusaha menutupinya dengan pura-pura tidak tahu. Yang kini bisa dia lakukan adalah menenangkan Alea yang masih terus menangis.
“Alea nyesel kak.” Kata Alea sesenggukan.
“Ada apa sayang? Nyesel kenapa?” tanya Kenzo lembut kemudian melepaskan pelukan Alea.
“Se..semalam, Alea udah ngomong sesuatu yang bikin Mama marah.” Kata Alea lirih.
“Jadi Alea udah nyesel?” tanya Kenzo.
“I..iya kak. Tapi Alea takut kalo Mama masih marah.” Kata Alea dengan masih menangis. Mendengarnya, Kenzo pun lega karena sebenarnya tak ada yang memendam amarah.
“Alea. Mama tadi nangis lho. Kalo Alea nyesel, seharusnya minta maaf ke Mama.” Kata Kenzo menasehati Alea.
“Tapi Alea takut kak.” Kata Alea. Kenzo pun tersenyum.
“Gakpapa Alea. Percaya deh sama kakak. Yuk?” Ajak Kenzo.
“Ta..tapi kak…” kata-kata Alea langsung dipotong oleh Kenzo.
“Gakpapa Al. Mama pasti maafin kok. Yuk.” Ajak Kenzo. Akhirnya Alea menurutinya kemudian kembali masuk ke rumah.
***
Mama masih menangis di dalam kamar. Hatinya pedih seperti diiris sembilu. Ada rasa penyesalan yang begitu dalam karena telah begitu saja menampar putri yang paling beliau sayangi. Di samping Mama, ada sebuah kotak kecil berwarna merah muda dengan pita warna putih. Kotak yang sedianya akan diberikan kepada Alea sebagai kejutan. Tapi apa yang telah terjadi seolah membuat kotak itu tak berarti lagi. Mama pun keluar, berjalan perlahan ke ruang keluarga. Di sana beliau menatap foto keluarga yang terpajang. Foto yang diambil ketika Kenzo dan Alea masih duduk di bangku SMP, ketika Mama dan Papa belum pindah ke Jepang.
“Maafin Mama sayang.” Kata Mama lirih sambil menatap lekat-lekat ke wajah kecil Alea di foto itu. Tiba-tiba dari belakang ada yang memeluk Mama.
“Maafin Alea Ma.” Kata Alea pelan. Mama tak menjawab, kemudian melepas pelukan Alea.
“Sayang.” Kata Mama sambil membelai rambut Alea. Alea menunduk. Dia tak berani menatap Mamanya. Dengan perlahan, Mama memeluk erat Alea. Dengan penuh kasih sayang, beliau berbisik di telinga Alea, “Selamat ulang tahun sayang.”
Alea tak kuasa menahan perasaannya. Dia pun kemudian memeluk erat tubuh Mamanya kemudian menangis dengan keras. Tangis yang dulu sering didengar oleh Mama ketika Alea masih sangat kecil, kini tangis Alea kecil itu kembali terdengar. Sebuah nostalgia masa lalu yang begitu indah. Melihatnya, Kenzo pun tersenyum sambil menahan bulir air matanya terjatuh.
***
“Mily, Alea mana?” tanya Liana.
“Masih di jalan kali. Gue sms gak dibales.” Jawab Mily sambil mengecek hpnya.
“Yaudah kita kumpul ke kelompok dulu aja yuk.” Ajak Gea. Liana dan Emily pun setuju. Mereka bergegas berjalan ke arah teman-teman kelompok mereka yang sudah berkumpul.
“Eh, si Alea di mana? Kok gak ada?” tanya Wisnu menyambut kedatangan Emily, Gea, dan Liana.
“Dasar kepo loe.” Jawab Liana ketus.
“Ya ampun. Galak banget sih loe.” Kata Wisnu.
“Udah udah. Sekarang kita cek dulu perlengkapan kita.” Kata Gian menyudahi pertengkaran Wisnu dan Liana. Gian dibantu Tika pun segera melakukan cek ke perlengkapan kelompok.
Setelah semua perlengkapan dicek dan fix, mereka pun duduk sambil ngobrol-ngobrol ringan seputar kesan-kesan mereka di sini. Ada beberapa candaan yang sering keluar dari mulut Mars yang selalu bisa membuat mereka tertawa terbahak-bahak.
“Eh Mars. Loe kayaknya cocok deh jadi pelawak.” Kata Nissa mengomentari lawakan Mars.
“Biasa aja kalo Sa. Gue kan sekedar ngomong doing.” Kata Mars merendah.
“Eh, itu Alea bukan?” tanya Wisnu tiba-tiba. Emily, Liana, dan Gea menengok ke arah yang ditunjuk Wisnu. Mereka pun melongo.
“Itu kan Alea sama kak Evan.” Kata Gea.
“Iya. Eh, emang mereka udah jadian ya Mily?” tanya Liana ke Emily.
“Gue juga gak tahu Li. Ntar aja kita tanya.” Jawab Emily.
“Maaf temen-temen aku telat.” Kata Alea menghampiri kelompoknya.
“Gakpapa, berangkatnya kan juga masih lama.” Kata Tika sambil tersenyum.
“Al, loe tadi kok bareng sama kak Evan?” tanya Liana ke Alea.
“Tadi kak Kenzo telpon kak Evan, minta jemput aku. Kak Kenzo kan gak ikut.” Jawab Alea sambil tersenyum.
“Kak Kenzo gak ikut beneran?” tanya Emily dengan nada lesu.
“Ciee… Yang galau gara-gara kak Kenzo gak ikut.” Goda Liana.
“Apaan sih loe Li.” Kata Emily menyembunyikan perasaannya. Alea dan Gea hanya tertawa melihat Liana sukses mengerjai Emily.
“Eh, Al. itu tadi pacar loe ya?” tanya Wisnu tiba-tiba dari belakang Alea.
“Apaan sih loe kepo. Mau tau aja.” Kata Liana tiba-tiba ke Wisnu.
“Udah-udah Li. Dia tadi, kak Evan, bukan pacarku kok.” Jawab Alea ramah.
“Bukannya ‘bukan’, tapi ‘belum’. Iya kan.” Celetuk Emily tiba-tiba. Alea tak menjawab, pipinya bersemu merah. Liana dan Gea tertawa. Wisnu pun hanya kebingungan melihat 4 sekawan itu begitu akrab satu sama lain.
***
Evan agak tergesa-gesa menuju ruang BEM untuk mengikuti briefing sebelum berangkat. Ada sebentuk senyuman di wajahnya, senyum yang bukan saja karena dia semakin dekat dengan Alea. Tapi Kenzo yang telah mempercayainya untuk menjaga Alea.
Sesampainya di ruangan BEM, para panitia tampak sudah berkumpul untuk mulai briefing. Evan pun segera duduk di depan dan memulai briefing selaku wakil ketua. Karena Kenzo, ketua panitia tidak bisa hadir. Dengan lancar, semua hal yang perlu dibahas di dalam rapat telah diselesaikan dengan baik. Panitia yang bertugas menjadi koordinator masing-masing kelompok pun segera keluar untuk memberikan instruksi lebih lanjut ke kelompok mahasiswa baru. Yang ada di dalam ruang BEM tinggal Evan, Tara, dan Rara.
“Lho. Ve mana nih? Dia kan sekretaris, kok gak ada?” tanya Evan.
“Loe belum denger kabar soal Ve  ya Van?” tanya balik Tara.
“Kabar soal Ve? Apaan sih?” tanya Evan yang makin kebingungan.
“Dia pindah kampus Van. Pas gue tanya alasannya kenapa, dia gak mau bilang. Dia cuma bilang, titip maaf buat Kenzo. Pas bilang gitu, raut wajahnya aneh banget. Kayak nyimpen sesuatu gitu.” Jawab Rara panjang lebar.
“Ve pindah? Maaf buat Kenzo? Maksudnya apaan Tar?” Evan pun tambah tidak mengerti.
“Gue juga gak tau sob maksudnya apaan. Nih si Rara yang gantiin posisinya Ve jadi sekretaris sekarang.” Kata Tara sambil menunjuk ke arah Rara. Rara tersenyum. Evan hanya menanggapinya dengan dingin.
“Eh Van. Kenzo mana? Kok gak ada?” tanya Rara tiba-tiba. Mendengar pertanyaan Rara tentang Kenzo, mendadak raut muka Evan berubah.
“Peduli apa loe sama Kenzo pake nanya-nanya segala.” Jawab Evan ketus. Tara hanya mendengus pelan mendengar apa yang dikatakan Evan.
“Maksud gue kan baik.” Kata Rara.
“Terserah loe deh Ra! Gue tau, loe mau jadi sekretaris cuma pengen deketin Kenzo aja. Emang sih, Kenzo udah maafin loe atas apa yang pernah loe lakuin ke dia. Tapi gue gak bisa Ra. Sikap loe ke Kenzo udah keterlaluan! Dia hampir kehilangan nyawanya gara-gara waktu itu! Loe…” Kalimat Evan kemudian dipotong oleh Tara.
“Udah lah sob. Yang dulu-dulu jangan dibahas.” Kata Tara mencoba menenangkan Evan yang masih menatap tajam Rara.
“Tapi Tar..” kata Evan.
“Udah deh, kita harus bersyukur karena Kenzo gak bisa inget kejadian itu gara-gara shock yang akhirnya bikin dia kehilangan memori itu.” Kata Tara menasehati Evan.
“Iya bener kata loe Tar.” Kata Evan dengan berat.
“Cabut yuk.” Kata Tara sambil menarik tangan Evan. Evan pun menurut dan mengikuti Tara meninggalkan ruangan. Tinggal Rara yang masih duduk sendirian di ruangan BEM termenung mendengar semua kata-kata tajam Evan.
“Apa gue udah begitu jahat sama Kenzo. Sampe sahabat-sahabatnya Kenzo bersikap gitu ke gue.” Kata Rara lirih. Kata-kata Evan benar-benar jitu menusuk hati Rara.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...