N - A - D - Y - A
Pagi ini matahari datang cepat sekali. Sebenarnya aku masih malas untuk bangun, tapi apa daya, Mama sudah gedor - gedor pintu kamar. Akhirnya dengan langkah malas, aku berjalan menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan berpakaian seragam lengkap, aku segera turun menuju ke meja makan. Di sana Mama sudah menunggu.
"Pagi, sayang. Ini Mama bikinin nasi goreng kesukaan kamu. Diabisin ya."
Sudah seminggu ini aku di rumah bersama Mama. Papa sedang ada dinas di luar kota. Adikku sedang ada acara di rumah temannya selama beberapa hari. Jadilah aku tinggal di rumah hanya bersama Mamaku.
Tiba - tiba suara klakson mobil jemputan mengagetkanku.
"Sayang, itu mobil jemputanmu sudah datang."
"Iya Ma."
Aku segera berlari ke arah Mama, mencium tangan dan pipi Mama.
"Berangkat dulu, Ma.." teriak ku sambil berlari ke arah mobil jemputan yang sudah ada di depan rumah.
"Pagi Pak Rahmat" sapaku kepada sopir mobil jemputan yang bernama Pak Rahmat.
"Pagi, Rio. Gimana kabarmu hari ini." balas Pak Rahmat. Beliau memang orang yang ramah.
"Baik kok Pak."
Mobil pun melaju dengan tenang. Pak Rahmat mengendarai mobil dengan tenang. Lajunya pun tidak ugal - ugalan. Semua siswa termasuk aku pun dapat menikmati perjalanan dengan tenang. Sampai tiba - tiba...
"DUARR !!!" salah satu ban mobil itu pecah.
"Aduuhh.... " terdengar teriakan beberapa anak yang yang ada di dalam mobil jemputan. Beberapa dari mereka yang tidak sabar langsung turun dan naik angkutan lain.
"Gimana ni Pak ? Masih lama nggak ?" tanyaku pada Pak Rahmat yang sibuk memperbaiki ban mobil.
"Bentar lagi bener kok."
Sebenarnya, aku sudah telat. Tapi aku kasihan kepada Pak Rahmat yang harus memperbaiki sendiri ban mobil itu. Jadi aku rela tinggal untuk membantu Pak Rahmat mengganti ban mobil. Hingga mobil dapat berjalan lagi.
"Makasih ya, Rio. Bapak jadi nggak enak ni sama kamu."
"Nggak papa kok Pak."
Dengan agak ngebut, akhirnya aku sampai di sekolah. Tapi karena pintu gerbang sudah ditutup, aku harus melompatinya. Tanpa lirik kanan kiri, aku langsung lari menuju kelas. Tiba - tiba, di depan kelas, aku sudah dicegat oleh Pak Jon. Ya Tuhan... sial benar aku pagi ini. Batinku.
Anehnya, Pak Jon langsung pergi meninggalkanku yang masih mengatur nafas di depan kelas. Tak berapa lama, beliau datang dengan menenteng ember dan alat pel.
"Cepat bersihkan WC siswa.. SAMPAI BERSIH !!!!" perintahnya.
"I...iya pak"
Tanpa tawar - menawar, aku segera menuruti perintah beliau. Kalo terlalu banyak membantah, bisa panjang urusannya.
Dengan langkah gontai, aku menuju WC siswa sambil menenteng ember dan alat pel. Di dalam hati, rasa malu bercampur dengan rasa kesal. Pagi - pagi, udah telat nggak bisa masuk kelas, harus bersih - bersih WC segala. Sial !
Sesampainya di WC, aku segera melakukan pembersihan. Dengan cepat aku pel dan bersihkan. Tanpa terasa peluh mengaliri dahiku. Ku lihat pekerjaanku masih belum selesai.
"Aduh, bisa - bisa nggak ikut pelajaran ni.." aku menggerutu dalam hati.
"Hai, Rio." Tiba - tiba ada suara yang mengagetkanku. Suara yang sangat aku kenal. Nadya ! Tapi, kenapa Nadya menghampiriku saat aku sedang membersihkan WC ? Ah entahlah.
"Eh, eng... kamu Nad. A..da apa ?" tak tahu kenapa omonganku agak terbata - bata.
"Aku mau bantuin kamu."
"Ha ? Bantuin aku ? Serius kamu ?"
Nadya hanya tersenyum. Ku kira dia hanya ingin menggodaku, ternyata dia benar - benar ingin membantuku. Dia langsung mengambil alat pel yang tersandar di tembok kemudian mulai mengepel.
Nadya, cewek yang sedang membantuku, adalah cewek yang selama ini selalu ada di dalam otakku. Entah kenapa, saat pertama kali bertemu Nadya, aku merasakan sesuatu yang tak kurasakan bila bertemu dengan cewek lain. Matanya yang bersinar seperti bintang, rambut hitam sebahu yang ditata rapi, dan sebuah senyuman indah yang menghiasi wajahnya, yang selalu membuatku seakan terbang.
"Rio ! Kamu ngelamun ya ?" tiba - tiba Nadya menyadarkanku dari lamunan.
"Lagi ngelamunin kamu," jawabku.
Nadya hanya diam dan tersenyum. Ya Tuhan, senyum indah itu. Andai saja senyum itu selalu ada untukku.
Hukuman bersih - bersih WC pun selesai ku kerjakan, dengan bantuan Nadya. Karena bersamaan dengan bel tanda istirahat, aku dan Nadya pun segera menuju ke kantin. Tapi, di tengah perjalanan Nadya menghentikanku.
"Rio, aku boleh minta tolong nggak ?"
"Eng,, Iya deh. Aku usahain."
"Tolong kamu sampe'in permintaan maafku ke Denis ya."
Aku tercekat, ada apa antara Nadya dan Denis ? Apa mereka.... ah sudahlah lagipula seandainya benar, itu bukan urusanku.
"Iya, nanti aku mampir ke rumah Denis."
"Makasih ya, Rio," Nadya mengucapkan terima kasih sambil menggenggam erat tanganku. Mimpi apa aku semalam, bisa - bisanya Nadya menggenggam tanganku seerat ini.
"Teet ! Teet ! Teet !" bel tanda pulang sekolah berbunyi. Aku segera berlari keluar kelas dan masuk ke mobil antar - jemput yang sudah berada di halaman parkir sekolah.
Di sepanjang jalan, aku tak henti - hentinya mengingat bagaimana Nadya membantuku tadi. Tanpa terasa, mobil sudah hampir sampai di rumah Denis.
"Berhenti di sini ya, Pak Rahmat."
"Lho ? kok turun di sini ?"
"Iya, pak. mau pinjem buku ke temen dulu."
Aku pun turun dari mobil. Sesampainya di depan rumah Denis, sudah ada Tante Mira, Mamanya Denis.
"Permisi, Denisnya ada Tante ?"
"Eh, Rio. Sini masuk. Denisnya ada kok, sebentar ya tante panggilin."
Tak berapa lama, Denis sudah muncul. Kami pun duduk sofa ruang tamu sambil ngobrol. Kemudian ku utarakan maksud utamaku datang menemui Denis.
"Gini, Nis. Sebenernya, aku ke sini mau nyampe'in sesuatu dari Nadya."
Tanpa kusangka, reaksi Denis langsung berubah.
"Nadya ? Alah paling nggak penting. Kalo udah nggak ada keperluan, kamu boleh balik. Aku mau ngerjain PR dulu," kata Denis sambil pergi meninggalkanku.
Aku masih tertegun menerima apa yang disampaikan Denis. Setelah menguasai diri, aku pun berlalu dari rumah Denis menuju ke halte bis terdekat.
Tak berapa lama, ada bis yang berhenti.Aku pun segera masuk dan duduk di kursi yang masih kosong.
"Gimana, Rio ?" aku tersentak karena tahu kalau yang duduk di sebelahku adalah Nadya !
"Emmm... maaf Nad. Denis malah marah - marah. Maaf aku nggak bisa bantu."
"Ya udahlah kalo gitu. Nggak papa. Oiya, kamu sibuk nggak ?"
"Eng...enggak kok. Ada apa ?"
"Aku mau ngajak kamu ke jalan - jalan. Mau ya ?"
Aku tersentak. Kebingungan untuk menjawab apa. Rasa senang bercampur bingung menggelayut di pikiranku.
"Rio... Mau nggak ?"
"Eh, i... iya deh..." akhirnya aku mau diajak Nadya.
Tak berapa lama kami berdua sudah berada di taman kota. Ternyata Nadya mengajakku ke taman. Tapi, ada apa ? Tumben sekali.
Kami pun berjalan sambil ngobrol. Topik obrolan kami pun beranjak seputar sekolah dan pelajaran. Tapi, semakin menuju ke hal pribadi. Tanpa sadar, aku menanyakan hal yang sedari tadi, tentang hubungan Nadya dan Denis.
"Emm... Nad. Sebenernya kamu sama Denis ada hubungan apa sih ?"
"Kok kamu tanya itu ?"
"Eh, maaf deh. Kalo kamu nggak mau jawab nggak paap kok," aku jadi tidak enak hati.
"Nggak papa kok." Aku lega mendengar jawaban Nadya.
Kami pun terus berjalan sambil terdiam satu sama lain. Karena sudah lelah berjalan, kami pun duduk di sebuah kursi taman yang kosong, tiba - tiba Nadya mulai berbicara lagi.
"Antara aku sama Denis tu nggak ada apa - apa. Cuma, kemarin dia nembak aku. Tapi karena aku tolak, dia marah dan nggak mau ngomong lagi sama aku," kata Nadya sambil menatap langit dengan tatapan kosong.
"Kenapa kamu tolak ? Denis kan baik, keren lagi."
"Karena aku udah milih orang lain," ya Tuhan ternyata Nadya sudah memiliki seseorang di hatinya. Tapi siapa....
"Eng.... Nad. Kalo boleh tahu, siapa orang yang beruntung ngedapetin hati kamu ?"
"Orang itu, kamu Rio."
Setelah kalimat itu, tak ada lagi kalimat lain yang meluncur dari bibir kami. Kami berdua terus terdiam. Di dalam dadaku, ada rasa bingung bercampur senang. Rasa yang tak bisa aku ungkapkan. Tapi, seolah mendapatkan sebuah dorongan yang tak ku tahu dari mana asalnya, aku mengungkapkannya juga.
"Maaf Nad. Selama ini aku udah nggak jujur sama kamu. Sebenarnya aku udah lama banget suka sama kamu. Tapi karena aku nggak punya cukup keberanian buat ngungkapin, jadi ku pendam dalam dalam hatiku."
"Makasih ya, Rio. Kamu udah membuka hati kamu buat aku."
Sepintas, ku lihat ada bulir air mata yang jatuh dari mata kejoranya. Dia lalu memelukku. Segera ku dekap tubuhnya, seolah tak ingin kulepaskan. Tapi tiba - tiba Nadya semakin erat memelukku. Dan sayup - sayup ku dengar Nadya menangis.
"Aku sebenernya masih pengen sama kamu lebih lama. Tapi aku harus segera pergi." Aku tak mengerti apa yang dimaksud Nadya. Apa maksudnya 'pergi' ?
"Maksud kamu apa Nad ? Kamu mau pergi ? Ke mana ?"
Nadya tiba - tiba melepaskan pelukannya. Sambil berlinang air mata dia menjelaskan semuanya padaku.
"Besok aku harus pindah ke Korea. Papaku dipindah ke sana dan aku sekeluarga harus ikut pindah."
Ya Tuhan. Begitu cepatkah aku harus kehilangan cinta yang baru saja kuraih ? Tapi apa dayaku, aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Nadya.
"Sebenernya, sulit buatku nerima pernyataan kamu tadi, Nad. Tapi, aku nggak bisa ngelakuin apa - apa. Aku cuma bisa berdoa, semoga kamu di sana baik - baik aja. Dan aku bakal nunggu kamu kembali lagi ke sini. Aku janji, Nad."
"Makasih, Rio."
Sesampainya di WC, aku segera melakukan pembersihan. Dengan cepat aku pel dan bersihkan. Tanpa terasa peluh mengaliri dahiku. Ku lihat pekerjaanku masih belum selesai.
"Aduh, bisa - bisa nggak ikut pelajaran ni.." aku menggerutu dalam hati.
"Hai, Rio." Tiba - tiba ada suara yang mengagetkanku. Suara yang sangat aku kenal. Nadya ! Tapi, kenapa Nadya menghampiriku saat aku sedang membersihkan WC ? Ah entahlah.
"Eh, eng... kamu Nad. A..da apa ?" tak tahu kenapa omonganku agak terbata - bata.
"Aku mau bantuin kamu."
"Ha ? Bantuin aku ? Serius kamu ?"
Nadya hanya tersenyum. Ku kira dia hanya ingin menggodaku, ternyata dia benar - benar ingin membantuku. Dia langsung mengambil alat pel yang tersandar di tembok kemudian mulai mengepel.
Nadya, cewek yang sedang membantuku, adalah cewek yang selama ini selalu ada di dalam otakku. Entah kenapa, saat pertama kali bertemu Nadya, aku merasakan sesuatu yang tak kurasakan bila bertemu dengan cewek lain. Matanya yang bersinar seperti bintang, rambut hitam sebahu yang ditata rapi, dan sebuah senyuman indah yang menghiasi wajahnya, yang selalu membuatku seakan terbang.
"Rio ! Kamu ngelamun ya ?" tiba - tiba Nadya menyadarkanku dari lamunan.
"Lagi ngelamunin kamu," jawabku.
Nadya hanya diam dan tersenyum. Ya Tuhan, senyum indah itu. Andai saja senyum itu selalu ada untukku.
Hukuman bersih - bersih WC pun selesai ku kerjakan, dengan bantuan Nadya. Karena bersamaan dengan bel tanda istirahat, aku dan Nadya pun segera menuju ke kantin. Tapi, di tengah perjalanan Nadya menghentikanku.
"Rio, aku boleh minta tolong nggak ?"
"Eng,, Iya deh. Aku usahain."
"Tolong kamu sampe'in permintaan maafku ke Denis ya."
Aku tercekat, ada apa antara Nadya dan Denis ? Apa mereka.... ah sudahlah lagipula seandainya benar, itu bukan urusanku.
"Iya, nanti aku mampir ke rumah Denis."
"Makasih ya, Rio," Nadya mengucapkan terima kasih sambil menggenggam erat tanganku. Mimpi apa aku semalam, bisa - bisanya Nadya menggenggam tanganku seerat ini.
***
"Teet ! Teet ! Teet !" bel tanda pulang sekolah berbunyi. Aku segera berlari keluar kelas dan masuk ke mobil antar - jemput yang sudah berada di halaman parkir sekolah.
Di sepanjang jalan, aku tak henti - hentinya mengingat bagaimana Nadya membantuku tadi. Tanpa terasa, mobil sudah hampir sampai di rumah Denis.
"Berhenti di sini ya, Pak Rahmat."
"Lho ? kok turun di sini ?"
"Iya, pak. mau pinjem buku ke temen dulu."
Aku pun turun dari mobil. Sesampainya di depan rumah Denis, sudah ada Tante Mira, Mamanya Denis.
"Permisi, Denisnya ada Tante ?"
"Eh, Rio. Sini masuk. Denisnya ada kok, sebentar ya tante panggilin."
Tak berapa lama, Denis sudah muncul. Kami pun duduk sofa ruang tamu sambil ngobrol. Kemudian ku utarakan maksud utamaku datang menemui Denis.
"Gini, Nis. Sebenernya, aku ke sini mau nyampe'in sesuatu dari Nadya."
Tanpa kusangka, reaksi Denis langsung berubah.
"Nadya ? Alah paling nggak penting. Kalo udah nggak ada keperluan, kamu boleh balik. Aku mau ngerjain PR dulu," kata Denis sambil pergi meninggalkanku.
Aku masih tertegun menerima apa yang disampaikan Denis. Setelah menguasai diri, aku pun berlalu dari rumah Denis menuju ke halte bis terdekat.
Tak berapa lama, ada bis yang berhenti.Aku pun segera masuk dan duduk di kursi yang masih kosong.
"Gimana, Rio ?" aku tersentak karena tahu kalau yang duduk di sebelahku adalah Nadya !
"Emmm... maaf Nad. Denis malah marah - marah. Maaf aku nggak bisa bantu."
"Ya udahlah kalo gitu. Nggak papa. Oiya, kamu sibuk nggak ?"
"Eng...enggak kok. Ada apa ?"
"Aku mau ngajak kamu ke jalan - jalan. Mau ya ?"
Aku tersentak. Kebingungan untuk menjawab apa. Rasa senang bercampur bingung menggelayut di pikiranku.
"Rio... Mau nggak ?"
"Eh, i... iya deh..." akhirnya aku mau diajak Nadya.
Tak berapa lama kami berdua sudah berada di taman kota. Ternyata Nadya mengajakku ke taman. Tapi, ada apa ? Tumben sekali.
Kami pun berjalan sambil ngobrol. Topik obrolan kami pun beranjak seputar sekolah dan pelajaran. Tapi, semakin menuju ke hal pribadi. Tanpa sadar, aku menanyakan hal yang sedari tadi, tentang hubungan Nadya dan Denis.
"Emm... Nad. Sebenernya kamu sama Denis ada hubungan apa sih ?"
"Kok kamu tanya itu ?"
"Eh, maaf deh. Kalo kamu nggak mau jawab nggak paap kok," aku jadi tidak enak hati.
"Nggak papa kok." Aku lega mendengar jawaban Nadya.
Kami pun terus berjalan sambil terdiam satu sama lain. Karena sudah lelah berjalan, kami pun duduk di sebuah kursi taman yang kosong, tiba - tiba Nadya mulai berbicara lagi.
"Antara aku sama Denis tu nggak ada apa - apa. Cuma, kemarin dia nembak aku. Tapi karena aku tolak, dia marah dan nggak mau ngomong lagi sama aku," kata Nadya sambil menatap langit dengan tatapan kosong.
"Kenapa kamu tolak ? Denis kan baik, keren lagi."
"Karena aku udah milih orang lain," ya Tuhan ternyata Nadya sudah memiliki seseorang di hatinya. Tapi siapa....
"Eng.... Nad. Kalo boleh tahu, siapa orang yang beruntung ngedapetin hati kamu ?"
"Orang itu, kamu Rio."
Setelah kalimat itu, tak ada lagi kalimat lain yang meluncur dari bibir kami. Kami berdua terus terdiam. Di dalam dadaku, ada rasa bingung bercampur senang. Rasa yang tak bisa aku ungkapkan. Tapi, seolah mendapatkan sebuah dorongan yang tak ku tahu dari mana asalnya, aku mengungkapkannya juga.
"Maaf Nad. Selama ini aku udah nggak jujur sama kamu. Sebenarnya aku udah lama banget suka sama kamu. Tapi karena aku nggak punya cukup keberanian buat ngungkapin, jadi ku pendam dalam dalam hatiku."
"Makasih ya, Rio. Kamu udah membuka hati kamu buat aku."
Sepintas, ku lihat ada bulir air mata yang jatuh dari mata kejoranya. Dia lalu memelukku. Segera ku dekap tubuhnya, seolah tak ingin kulepaskan. Tapi tiba - tiba Nadya semakin erat memelukku. Dan sayup - sayup ku dengar Nadya menangis.
"Aku sebenernya masih pengen sama kamu lebih lama. Tapi aku harus segera pergi." Aku tak mengerti apa yang dimaksud Nadya. Apa maksudnya 'pergi' ?
"Maksud kamu apa Nad ? Kamu mau pergi ? Ke mana ?"
Nadya tiba - tiba melepaskan pelukannya. Sambil berlinang air mata dia menjelaskan semuanya padaku.
"Besok aku harus pindah ke Korea. Papaku dipindah ke sana dan aku sekeluarga harus ikut pindah."
Ya Tuhan. Begitu cepatkah aku harus kehilangan cinta yang baru saja kuraih ? Tapi apa dayaku, aku hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk Nadya.
"Sebenernya, sulit buatku nerima pernyataan kamu tadi, Nad. Tapi, aku nggak bisa ngelakuin apa - apa. Aku cuma bisa berdoa, semoga kamu di sana baik - baik aja. Dan aku bakal nunggu kamu kembali lagi ke sini. Aku janji, Nad."
"Makasih, Rio."
***
Hari mulai berganti hari, minggu mulai berganti minggu, dan bulan mulai berganti dengan bulan yang baru. Aku menjadi lebih semangat dalam menjalani aktivitas studiku dan melangkah menyongsong masa depanku. Semua kenangan pahit dalam hidupku perlahan bisa kulupakan. Tapi ada 5 rangkaian huruf yang akan selalu membekas di dalam hatiku. N-A-D-Y-A.
0 comments:
Post a Comment
Abis baca artikelnya, kasih komentar ya.. Supaya artikel selanjutnya bisa lebih bagus... ^^