Blogger templates

Pages

18 September 2012

Tentang Hati II | Sadness & Sorrow

http://images.paraorkut.com/img/pics/images/d/dead_heart-1782.jpg

Mobil mbak Tria berhenti di tempat parkir rumah sakit. Vio dan mbak Tria pun bergegas melangkah memasuki rumah sakit. Namun belum sempat masuk pintu, tiba-tiba mbak Tria menarik tangan Vio.
“Vio, mbak boleh minta tolong?” tanya mbak Tria tiba-tiba.
“A..ada apa mbak?” Vio kaget.
“Tolong nanti kamu yang kuat..” mbak Tria menghela nafas, “yuk.” Vio terdiam, kemudian mereka berdua pun segera berjalan menuju ruang tempat Rama dirawat.
Ruang Anggrek-03, tempat Rama dirawat, di depannya terlihat beberapa anak muda yang nampaknya teman-teman kuliah Rama. Saat Vio dan mbak Tria tiba, mereka memberi salam tapi nampak di wajah mereka kegelisahan dan kekhawatiran.
“Mbak Tria..” kata salah satu dari mereka yang bernama Angga.
“Iya ngga, ada apa? Kok pada murung?” tanya mbak Tria.
“Rama mbak.” Lanjut Angga.
“Rama kenapa? Dia masih di dalam kan?” tanya mbak Tria lagi.
“Dia dibawa ke ruang ICU, tadi kata dokter kondisinya tiba-tiba memburuk.” Terang Angga. Mbak Tria tercekat, tak mampu berkata apa-apa. Vio yang dari tadi hanya terdiam tiba-tiba meneteskan air mata.
“Mas, ruang ICU-nya di sebelah mana?” tiba-tiba Vio bertanya.
“Mbak ini siapa ya?” Angga bertanya balik.
“Eng, saya Vio.” Jawab Vio. Mendengar jawaban Vio, muka Angga berubah. Tersirat raut kemarahan di wajah Angga.
“Oh, jadi ini yang namanya Vio.” Jawab Angga ketus. Sebelum Angga melanjutkan kata-katanya, salah satu dari teman-teman Rama yang lain langsung memotongnya.
“Udah Ngga, jangan bikin keadaan tambah rumit. Gue aja yang anterin Vio ke sana.” Kata seorang cewek bernama Putri.
“Yuk Vio, aku anterin.” Kata Putri lembut. Vio mengangguk kemudian mengikuti Putri berjalan menuju ke ruang ICU. Mbak Tria masih di depan ruang Anggrek-03 bersama teman-teman Rama yang lain.
“Mbak, kok malah bawa Vio sih. Kan Rama udah berkali-kali bilang supaya Vio nggak usah diajak ke sini.” Kata Angga.
“Ngga, mbak sebenarnya juga nggak pengin ngajak dia. Tapi apa kamu nggak lihat dia? Dia kelihatan sedih banget. Mbak nggak tega.” Kata mbak Tria.
Suasana pun kemudian sunyi. Semuanya terdiam. Satu-satunya yang sedang mereka pikirkan adalah keadaan Rama yang tiba-tiba saja memburuk. Doa pun mengalun dari dalam hati mereka.
***
Vio sedang berada di masjid rumah sakit. Dia sengaja tidak pulang karena ingin menunggui Rama dan mendoakan Rama. Vio menyempatkan untuk sholat malam, berdoa kepada Yang Kuasa agar Rama dapat segera sembuh dari kanker yang diderita.
“Tuhan, terima kasih Engkau telah membuka hatiku. Dari semua kejadian ini, aku sadar bahwa aku telah berbuat terlalu kepada Rama. Maafkan aku Tuhan. Aku sudah menyadari kesalahanku telah menyia-nyiakan malaikat yang Engkau kirimkan untuk menemaniku. Dan kini aku memohon kepadamu, sembuhkanlah dia, angkatlah penyakitnya..” Begitu khusyuk, bahkan hingga air mata Vio mengalir mengikuti alun doa yang dipanjatkannya.
Dari jauh nampak mbak Tria memperhatikan Vio yang sedang begitu tenang berdoa. Mbak Tria pun berpikir bahwa memang Vio adalah orang yang tepat bagi Rama, sesuai dengan apa yang selalu Rama ceritakan. Tentang semua kebaikan Vio. Namun satu hal yang masih membuat mbak Tria sangat sedih adalah kondisi Rama yang justru makin memburuk.
“Mbak! Mbak Tria!” ada teriakan yang memanggil mbak Tria. Mbak Tria pun menoleh ke arah suara tersebut. Ternyata Angga.
“Kenapa Ngga?” tanya Mbak Tria.
“Rama mbak..” kata Angga terputus.
“Iya Rama kenapa?” tanya Mbak Tria makin cemas. Tanpa berkata apa-apa, Angga pun menarik tangan mbak Tria dan membawanya ke ruang ICU tempat Rama berada.
Sesampainya di depan ruang ICU, terlihat teman-teman Rama yang lain tertunduk lesu. Putri terlihat sesenggukan menahan air mata. Hati mbak Tria makin tak karuan melihat pemandangan ini.
“Put, bapak mana?” tanya mbak Tria ke Putri.
“Pak Burhan, dia pergi sama dokter mbak.” Jawab Putri sambil masih sesenggukan.
“Ngga, sebenarnya ada apa ini?” tanya mbak Tria ke Angga.
“Tadi.. dokter bilang kalo kondisi Rama tambah buruk mbak. Pengobatan yang selama ini gak membuahkan hasil. Ada kemungkinan Rama harus dapat operasi. Tapi Pak Burhan pergi sama dokter membicarakan ini.” Terang Angga.
“Operasi..” kata mbak Tria lirih.
Di lain tempat, Vio baru selesai sholat malam. Dia sedang berjalan menuju ruang ICU tempat Rama ketika langkah terhenti di depan sebuah ruangan, ruang dokter. Pintu ruangan itu sedikit terbuka dan terlihat dokter sedang berbincang dengan Pak Burhan, ayah Rama. Vio yang penasaran pun menguping pembicaraan mereka.
“Kondisi Rama sudah sangat mengkhawatirkan pak. Terapi yang selama ini kami berikan tidak membuat kondisi anak bapak membaik. Harus segera dilakukan operasi pak.” Kata dokter.
“Operasi? Apakah dengan operasi, Rama bisa sembuh dok?” tanya pak Burhan cemas.
“Kemungkinannya kecil pak, tapi harus dilakukan demi kesembuhan Rama.” Jawab dokter.
Pak Burhan tak berkata apa-apa. Beliau menangis. Dari luar, Vio tercekat kaget mendengar percakapan itu. Operasi? Ya Tuhan. Begitu beratkah sakit yang ditanggung Rama? Vio pun melanjutkan langkahnya ke tempat Rama dengan langkah kaki gontai. Pikirannya kemana-mana. Beberapa kali dia hampir jatuh karena melamun. Kesedihannya kian tak tertahan dan air mata pun mengalir dari matanya.
***
Malam ini adalah malam sebelum Rama dioperasi esok pagi. Semuanya berdoa agar dengan langkah operasi ini, Rama bisa sembuh. Pak Burhan, mbak Tria, Angga, Putri, dan teman-teman Rama yang lain serta Vio. Mereka semua kini berada di dalam menemani Rama yang masih terbaring lemah, mereka kecuali Vio. Dia tak kuasa melihat kondisi Rama yang telah lama dia abaikan begitu lama. Satu per satu, mereka pun keluar dari ruangan itu.
Seolah menjawab doa dari orang-orang yang menyayangi Rama, Tuhan pun memberikan keajaiban-Nya. Rama perlahan mampu membuka matanya, perlahan dia sadar. Namun tak ada yang menyadari bahwa Rama sudah sadar. Mereka sudah berada di luar. Dengan pelan, Rama memperhatikan semua yang ada di sekelilingnya. Pandangannya terhenti ke kaca pintu ruangannya. Terlihat wajah khawatir bercampur gurat kesedihan yang mendalam. Wajah Vio.
“Vio..” suara Rama lirih. Seperti mendengar apa yang diucapkan Rama, Vio pun bergegas masuk ke ruangan Rama.
“Rama..” suara lemah Vio memanggil Rama yang kini sudah sadar. Tangannya menggenggam erat tangan Rama yang begitu lemah dan kurus.
“Datanglah ke tempat kita pertama kali bertemu.” Kata Rama singkat.
Tak ada lagi kata-kata yang meluncur dari kedua mulut mereka. Semuanya hanyut dalam keheningan. Keheningan penuh rasa pedih. Mereka saling pandang begitu lama, begitu dalam. Pandangan penuh rasa rindu yang tertahan begitu lama. Yang terhalang ego dan keinginan penuh harap. Dan kini kerinduan itu meluap begitu saja. Seperti air mata Vio dan Rama yang sama mengalir, diikuti genggaman tangan mereka yang juga semakin erat.
Dari luar, pak Burhan, mbak Tria, Angga, Putri, dan teman-teman Rama yang lain ikut masuk. Mereka segera mengelilingi Rama. Keadaan yang begitu hening berbalut rasa pilu di tatapan mata mereka.
“Nak, kamu harus kuat. Kamu pasti sembuh.” Kata Pak Burhan memberikan dorongan semangat kepada Rama. Mendengarnya, Rama hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Rama, besok kamu akan dioperasi. Persiapkan diri kamu. Mbak selalu berdoa yang terbaik buat kamu.” Kata Mbak Tria.
“Iya Rama. Cepet pulih trus balik ke kampus ya.” Kata Angga dan Putri.
Rama tersenyum melihat kepedulian dari orang-orang yang begitu dia sayangi. Pandangannya beralih ke Vio. Vio masih terdiam. Air matanya masih menghalangi lidahnya untuk mengucapkan kata-kata. Hanya tangannya yang begitu erat menggenggam tangan lemah Rama. Enggan untuk melepaskannya.
***
Hari di mana Rama akan dioperasi tiba. Semuanya begitu cemas berharap akan kesembuhan Rama. Perlahan Rama dibawa ke ruang operasi diikuti pak Burhan, mbak Tria, dan Vio. Entah kenapa, raut wajah Rama menunjukkan ketenangan yang begitu dalam. Sebelum sempat dibawa masuk, Rama meminta suster untuk berhenti. Kemudian dia memberikan secarik kertas ke Vio.
“Apa ini Rama?” tanya Vio.
Belum sempat Rama menjawab pertanyaan Vio, suster sudah membawa masuk Rama ke ruang operasi. Hanya senyum Rama yang masih sempat dilihat oleh Vio.
“Nak Vio, terimakasih sudah mau menjaga Rama. Cerita Rama tentang kamu memang tidak salah. Sekali lagi, terimakasih.” Kata pak Burhan sambil memegang pundak Vio. Vio pun mengangguk.
“Vio, kita doakan yang terbaik buat Rama ya.” Kata mbak Tria lembut.
“I..iya mbak.” Kata Vio sambil menggenggam erat kertas pemberian Rama.
Mereka pun menunggu di luar ruang operasi dengan perasaan cemas. Berulang kali duduk dan berdiri. Tak ada satupun kata yang mereka ucapkan. Hanya doa yang kini mereka panjatkan berulang kali kepada Tuhan.
Operasi telah selesai. Dokter yang menangani operasi telah keluar. Namun raut wajah dokter membuat pak Burhan, mbak Tria, dan Vio takut. Dengan perlahan, dokter mendekati pak Burhan.
“Maafkan kami pak. Kami sudah berusaha semaksimal kami.” Kata dokter lirih. Pak Burhan terdiam. Beliau tak mampu berkata apa-apa. Beliau tersenyum, tapi senyum itu kemudian diikuti tangis yang begitu pilu dan jatuh terduduk. Mbak Tria ikut menangis. Dia tidak percaya kalau adik yang begitu dia sayangi telah meninggalkannya.
“Rama...” kata Vio lirih kemudian jatuh tak sadarkan diri.
***
Proses pemakaman Rama telah usai. Semua pelayat telah meninggalkan pemakaman. Tinggal pak Burhan, ditemani mbak Tria dan Vio.
“Nak, maafin semua kesalahan Rama selama ini ya. Semoga dia diterima di sisi Tuhan.” Kata pak Burhan kepada Vio disertai isak tangis tertahan. Beliau pun bergegas pergi diikuti mbak Tria. Tinggal Vio sendiri yang masih termenung di depan pusara Rama.
***
Vio berjalan pelan di taman tempat dia pertama kali bertemu dan bertatap muka dengan Rama. Dia pun kemudian duduk di kursi tempat mereka duduk dulu. Ada rasa sakit yang muncul di hatinya. Dipandanginya kursi itu. Pandangannya terhenti pada kotak kecil berwarna hitam di kaki kursi. Dengan pelan, diambilnya kotak itu.
Perlahan, Vio membuka kotak itu. Dia kaget karena isi kotak itu adalah sebuah cincin. Begitu indah berkilau. Di tutup kotak itu, ada foto Rama yang sedang tersenyum. Tiba-tiba Vio teringat pada secarik kertas yang sempat Rama berikan padanya. Dengan perlahan, dibukanya kertas itu.
Vio, maaf jika selama ini aku belum sempat membuatmu merasa bahagia. Aku sangat ingin memberikan sesuatu untukmu. Datanglah ke tempat kita pertama bertemu. Jika ini adalah hal terakhir yang bisa kutulis, aku hanya ingin menyampaikan. Aku sangat mencintaimu. Dan maaf, aku tidak mampu menepati janjiku untuk bisa menikahimu.
Vio menggenggam erat kotak berisi cincin dari Rama itu. Hatinya yang pilu, kini semakin tersayat oleh apa yang ada di tangannya. Semua yang seharusnya dapat dia rasakan dengan penuh cinta dan sukacita bersama Rama. Kini hanya terasa hampa, pilu, dan penuh duka. Karena hati yang begitu menyayangi dan mencintainya telah pergi dan tak akan mungkin kembali.

~The End ~

0 comments:

Post a Comment

Abis baca artikelnya, kasih komentar ya.. Supaya artikel selanjutnya bisa lebih bagus... ^^

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...